Kupu-kupu di Pusara Ibu
Ilustrasi from Google: A Butterfly Painting by Lyubov Kuptsova |
Ketika berkunjung ke makam ibu, ada seekor kupu-kupu bertengger tepat di atas pusaranya. Warna kupu-kupu itu kuning bercampur ungu dengan garis-garis hitam kebiruan di setiap pinggirannya. Ukuran kupu-kupu itu hampir setelapak tanganku, ia terlihat sangat cantik, diam di tempat dan tidak terusik dengan kedatanganku. Melihat kehadiran kupu-kupu yang menawan itu, tiba-tiba aku teringat akan ucapan ibuku setahun sebelum ia meninggal. Katanya, “Jika kau menemui kupu-kupu di pusara Ibu, jangan kau usir. Biarkan dia bertengger di sana sebab itu aku.”
Sesungguhnya
ketika aku mendengar ucapan ibu, aku hanya menganggapnya sebagai perkataan
orang tua yang terbang melayang ke mana-mana, kata-katanya seperti khayalan
manusia usia lanjut yang tengah merasakan ketidaknyamanan di tubuh rentanya.
Kala itu ibu sedang menderita rasa sakit karena penyakit diabetes. Ucapan
tentang kupu-kupu dikatakannya hampir setiap Minggu.
“Ingat
ya Nak, biarkan kupu-kupu berterbangan di makam Ibu nanti. Itu Ibu, Ibu sedang
menunggu kalian datang menengok Ibu. Jangan kalian usir.” Katanya dengan suara
parau.
Beberapa
bulan kemudian Ibu tiada. Ia tak sanggup lagi berperang melawan penyakit
diabetes yang sudah merambat ke ginjal hingga jantungnya. Seminggu sekali ibu
cuci darah. Kembali sebelum ia menutup mata, ibu berpesan, “Jika kau rindu, Ibu
akan menjadi kupu-kupu dan menunggu kalian di pusara Ibu.”
Setahun
setelah itu, aku dan dua saudaraku telah melupakan pesan ibu. Satu adik dan
satu kakakku telah kembali ke kota tempat mereka tinggal. Adikku yang perempuan
bahkan dibawa suaminya ke Camarillo, California, Amerika Serikat. Suaminya
memang asli dari sana. Sedang kakak perempuanku tinggal di sebuah kota di Jawa
Tengah bersama suami dan dua anak mereka. Tinggal aku si tengah yang kebetulan
satu-satunya anak laki-laki ibu dan ayahku yang menempati rumah peninggalan
mereka.
Di
usiaku yang ke 30 tahun, aku memilih untuk tidak menikah. Pekerjaanku di sebuah
jasa tabungan uang virtual yang mengharuskan aku menatap komputer sejak pukul
sembilan pagi hingga dua belas malam, membuat aku kehilangan ruang untuk
bersosialisasi.
Teman-temanku
menjauh satu-persatu, mereka menduga aku telah direnggut oleh cengkeraman
kapitalis hingga ke titik yang paling dasar, mereka beranggapan aku seperti
zombie yang berjalan sesuai kendali tanpa bisa mereguk kebebasan pribadi
sebagai manusia yang merdeka. Aku
mengakui hal itu sekaligus menyadari bahwa diriku telah menjadi manusia paling
tak berdaya yang kalah oleh situasi, terlebih lagi di masa pandemi Covid-19
yang sekarang kian ganas menerjang kekebalan tubuh manusia.
Andai
ibuku tidak datang di mimpiku dengan pesannya yang masih sama tentang kupu-kupu
yang bertengger di batu nisannya, mungkin aku tetap bergelut dengan pekerjaan
yang kata temanku benar; memperkaya sang kapitalis bersama tujuh turunannya.
Mimpi
tentang ibu dan kupu-kupu semalam, aku bagai melihat kemarahan ibu ketika aku
tidak membuat PR yang diberikan guruku saat SD. “Datanglah, Nak. Masak sejak
Ibu dikubur, kau tidak pernah melihat Ibu. Kau, adikmu dan kakakmu bagai
melempar batu ke dalam tanah, lalu menguruknya dan melupakan kisah tentang Ibu.
Kau tengok juga makam Ayahmu. Kau jangan seperti manusia tak berbudaya yang banyak
terdapat di era milenial ini, menganggap setelah kami tiada, tamat sudah cerita
tentang kami. Jika kau melihat kupu-kupu di batu nisanku, itu Ibu. Aku selalu
menunggumu di sana dengan warna sayap yang berubah-ubah.”
Dan
aku terbangun dari tidurku. Peluh membasahi sekujur tubuhku. Ibu yang datang
dalam mimpiku, bagai menyengat dan mengingatkan seluruh kenangan tentangnya.
Setelah sepuluh tahun ayah meninggal, ibu tetap sendiri, ia tidak mau menikah
lagi. Ayah yang pergi meninggalkan tiga anak, tanpa pensiun juga tabungan itu,
menyerahkan tanggungjawabnya pada perempuan yang kala itu memasuki usia empat
puluh tahun, ibuku.
Kisah
perjuangan ibu untuk menyekolahkan dan memberikan makan kami, barangkali sama
heroiknya dengan kisah para ibu yang ditinggalkan suami tanpa bekal apapun. Ibu
selalu bilang kalau ia beruntung ditinggalkan sebuah rumah sederhana seluas 100
meter persegi yang lokasinya di tengah keramaian kota.
“Dari
berdagang kue-kue dan makanan inilah, akhirnya kalian bisa tamat kuliah dan
memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan kalian.” Katanya selalu
dengan gurat wajah lelah.
Kala
itu, diabetes keparat mulai meminang dan menggerogoti tubuh ibu, lalu perempuan
yang mulai memasuki usia setengah abad itu, menyimpan rasa sakitnya sendirian.
Dia tidak mau kami bersedih dan panik apabila melihat dia berjalan sempoyongan
dan lelah karena gula darahnya sedang tinggi atau turun.
“Ibu
lelah, Ibu istirahat sejenak, jika ada pembeli, tolong kau layani dulu. Nak,
kau tahu kan harga-harganya, semua catatan harga ada di bawah etalase tempat
kue-kue itu diletakkan.” Katanya.
Dunia
bermain dan ego seorang anak yang membuncah penuh rasa kesal tatkala ibu
meminta bantuan kami untuk mencuci perabotan usai ia membuat kue-kue
dagangannya, membuat ibu tidak mau lagi memaksakan kehendaknya dengan menyuruh
kami untuk sekadar melayani pembeli. Semua dikerjakannya sendiri tanpa keluh
juga kernyit di dahi.
Tak
pernah terpikirkan olehku, kakak dan adikku bahwa hasil dari semua dagangannya
itu untuk makan kami juga membiayai pendidikan kami. Kami melenggang dengan
tuntutan yang kian bertambah hari lepas hari.
Aku
sempat marah ketika seorang rentenir berdalih bank keliling datang menagih
utang pada ibu. Suara si rentenir yang menggelegar di siang hari yang panas
itu, membuatku geram, bukan pada si rentenir, akan tetapi pada ibuku yang duduk
diam tak berdaya tatkala si rentenir memakinya sebagai manula tukang berutang
yang tidak tahu diri. Ibu hanya diam dengan air mata berlinang di pipi yang
dengan cepat dihapusnya. Ia juga tak bersuara tatkala aku ikut memarahinya
sembari berkata, “Kan Ibu sudah jualan, ngapain juga ngutang di bank keliling!”
Isak
ibuku kudengar di malam hari ketika rasa linu di persendian kakinya menjalar
hingga ke pinggang. Aku tetap diam, menganggapnya itu hanya penyakit tua biasa.
Tatkala ia memberikan amplop putih untuk membayar uang semesteran kuliahku,
lama baru kutahu kalau uang itu dipinjam ibu dari rentenir bank keliling. Ia
membayar cicilannya dengan susah payah dan air mata yang selalu dihapusnya
diam-diam ketika makian si rentenir memborbardir perasaannya. Aku baru tahu
ketika ibu tiada dan sang rentenir menuturkan semua kisah tentangnya.
“Ibumu
orang yang baik. Dia mempertaruhkan harga dirinya untuk membayar semua utangnya
padaku. Uang itu bukan ia gunakan untuk kesenangan pribadinya, tapi untuk
membayar uang semesteran kuliahmu.” Kata si rentenir bank keliling di pemakaman
ibu kala ia meninggalkan dunia yang fana ini.
Aku
menangis dan menyesali semua yang pernah kulakukan padanya. Tapi terlambat, ibu
sudah tiada.
Hari
ini, kulihat kupu-kupu itu telah berubah warna. Ada warna merah jambu berbalut
biru muda dengan garis keemasan di tepi tiap sayapnya. Aku tersentak, itu warna
kesukaan ibuku. Betapa aku ini anak yang tak tahu diri, bahkan warna kesayangan
ibuku pun aku tak tahu jika si kupu-kupu tidak memperlihatkannya.
Ketika
aku duduk di sisi makam sembari mencabut rumput-rumput liar yang mulai tumbuh
di sana, kupu-kupu itu hinggap di bahuku. Cukup lama dia berada di sana. Sebelum
aku meninggalkan makam ibu, kupu-kupu itu terbang mengelilingiku tiga kali.
Saat aku beranjak, kukatakan padanya, “Ibu, aku akan sering-sering menengokmu,
berbahagialah kau di tempatmu yang baru.”
Kemudian
kupu-kupu itu lenyap, aku yakin itu ibuku. ***
Postingan karya cerpen ini tidak ada maksud plagiat, cuma sharing karya ybs di mana pesannya nyata banget ada dalam kehidupan kita. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari cerpen ini. Jangan bosan-b0san membaca!
Komentar
Posting Komentar