DIALOG

Ilustrasi: Google

Kututup mushaf yang telah selesai kubaca. Sedari tadi, surat Ath-Thaha ayat 25-28 kuulang baca berkali-kali. Ini adalah doa dimana Nabi Musa memohon kepada Allah agar ia diberi kemudahan dalam urusannya menghadapi Firaun kala itu. Musa berkata, ”Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii. Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha: 25-28)


Dan di Subuh ini, terus kuulang-ulang doa itu dengan harapan Allah beri aku kemudahan untuk bicara dengan seseorang. Agar Allah tak kelukan lidahku untuk menyampaikan apa yang benar-benar ingin kusampaikan. Agar Allah tak buat setiap ucapan ku nanti berakhir dengan menyakiti perasaan. Ya, saat itu, kuputuskan untuk bicara empat mata dengan seorang lelaki yang hingga saat ini memastikan hidupku baik-baik saja.

****

 Aroma kopi menyeruak di udara dari arah dapur. Aroma kopi Subuh. Kudengar suara adukannya, pelan, sendok saling mengenai sisi-sisi gelas kaca. Annisa telah menyiapkan minuman rutin untuk suaminya. Aku dari tadi masih berdiri di pinggir pintu, melihatnya meletakkan kopi itu di atas meja makan tempat suaminya sudah menunggu. Kopi buatan Annisa untuk suaminya tak pernah diberi gula. Itu memang karena permintaan suaminya. Nantinya, jika kopi sudah disajikan, suami Annisa akan menambah potongan dadu kecil gula-gula merah ke dalam kopinya. Sudah lama suami Annisa mengurangi konsumsi gula dengan alasan kesehatan.


Aku, masih saja berdiri di dekat pintu. Rasa-rasanya tak ingin mengganggu Annisa dan suaminya. Terlebih batin dan mentalku seperti belum siap untuk bicara dengan suami Annisa. Cuma, saat itu Annisa tahu bahwa aku ingin waktu sebentar dengan suaminya. Sampai akhirnya, Annisa mendekatiku dan berkata, “Sudah, bicarakan saja. Dia lagi santai loo.”


“Aku ga berani, Annisa.” jawabku ragu.


“Sudah, dibicarakan saja. Selama ini dia tanya-tanya ke Annisa loo.”

 

Huft, berat rasanya kakiku untuk melangkah. Seperti ada bola rantai yang diikat di kakiku. Tapi, benar seperti kata Annisa. Aku tidak mungkin simpan perihal ini lebih lama lagi darinya. Terlebih dia bukan orang asing sama sekali untukku.


“Abika, hmm, aku mau bicara sebentar.” aku memulai dengan sedikit ragu. 


“Hmm, bicara apa?” jawabnya setelah satu seruputan kopi ia rasakan.

 

Kutarik seonggok kursi untuk kududuki. Kini, posisiku tepat berhadapan dengannya di meja makan. Rasa-rasanya mau pingsan, tapi lawan bicara sudah di depan mata. Sudahlah, kupikir ini sudah waktunya memang.


“Abika ga bertanya-tanya tentang aku? Maksudku, tentang rencana pernikahanku yang kusebut dulu?”


“Oh, itu. Kamu kan biasanya yang ngomong sendiri ke Abika. Yaudah, Abika tunggu kamu dulu ngomongnya. Kenapa? Udah mau dilamar?


Duh, saat itu aku cuma bisa menunduk, sebab nampaknya mataku seperti akan-akan basah. Bahasa hatiku sudah berkoar-koar, “Jangan, tahan dulu, tahan dulu! Jangan hujan dulu!”


“Aku minta maaf Abika.” Tetiba, suaraku mulai kedengaran parau. 


“Hehe, itu Abika, ga bisa datang si fulan.” jawabku lagi berusaha menghibur diri.


“Oh, kenapa? Ya kalau sudah kamu bilang begitu, laa haula walaaquwata illa billah saja.”

 

Dih, Abika jawabnya santai banget. Tapi benar sih, semuanya terjadi karena Allah. Pun sejak awal aku yakinnya begitu juga. Semua yang menyangkut hidup dan matiku, rezeki dan jodohku, kan Allah yang kuasa semuanya. Meskipun memang sangat diuji kesabaran dalam melalui semua proses itu.


“Hmm, kan aku udah bilang ke Abika, setelan bulan ini dan itu. Tapi ternyata, tetap aja si fulan dan keluarganya belum bisa Abika. Yaaa, ada keadaan yang memang ga bisa dilangkahi gitu, qadarullah.”


“Udah lama tu ditunggu, kamunya gimana?”


Abika pakai bilang begitu lagi. Iya sih, menurutku sudah lama dari waktu yang dianjurkan dalam Islam. Cuma kalau dibilang lama, mungkin ada orang yang lebih lama menunggu daripada aku. Dan di posisi ini aku tidak mau menempuh proses yang akan dipertanyakan keberkahannya. Jadi ya, waktu dan kepastian itu sangat penting. Meskipun menurut orang bilang setia menanti itu juga penting.  


“Nunggu lama begini kan ga baik, Abika. Aku juga ga mau kasih kabar ga pasti terus sama Abika dan Annisa.” jawabku nampak-nampak mulai tegar. Beneran tegar ga sih? Hati padahal mau meledak.


“Ya sudah. Kalau memang bisa dikhlaskan ya diikhlaskan. Dikembalikan kepada Allah.”


“Abika ga risih sama aku yang belum nikah gini? Orang-orang pasti nanya kan ke Abika?”


“Ngapain risih, Abika lihat kamunya lurus-lurus aja tuh. Salah satu yang Allah pegang itu kan jodohmu. Ya Abika lihat gimana proses di kamulah. Kalau memang udah yakin buat nikah, ketemu dan pas, mudah jalannya dari Allah, pasti ketemu.”


“Ya. Tapi Abika jangan merasa sedih ya untuk aku. Aku udah ikhlas juga, seperti kata Abika.”


“Begitu? Kamu kan anakku. Gini-gini kan Abika sama Annisa berharap anak-anak kami bisa bahagia.”


“Terima kasih Abika. Anu, aku masih boleh numpang tinggal nih kan sama Abika dan Annisa di sini?”


“Ya jelas. Rumah ini kan terbuka untuk semua anak-anak kami. Allah sudah atur semua itu, dilihat-lihat dari sisi baiknya untuk yang kamu alami selama ini. Kalau dia jodohmu, Allah pasti kasih jalan untuk kalian. Tapi ya kalau ga, yaaa kamu disuruh jalan-jalan lagi.”

 

Serius, Abika bisa buat jawaban begitu? Bikin aku ketawa, tapi ini diketawain atau apa? Tapi aku bersyukur, Abika dengan sangat tidak berlebihan menanggapi keadaanku. Selaku “anak”, aku merasa bersalah karena untuk selama ini diam dan tidak berbicara tentang hal ini. Padahal ini adalah hal yang harusnya dengan sangat terbuka untuk kubicarakan dengannya, juga istrinya. Dialogku dengan Abika kuselesaikan cukup sampai di situ dulu. Karena ke depan pasti akan ada dialog-dialog lain yang akan terjadi atas sebab tertentu pula. Hingga kapan pun mereka adalah dua orang yang selalu saya harapkan saran dan doanya. 


Dari dialog antara aku dan Abika, di sini aku sadar ikhlas itu benar-benar harus. Harus, karena ada jalan-jalan lain yang harus kutempuh seperti kata Abika. Meskipun ada kekecewaan di belakangnya. Toh kekecewaan itu human, manusiawi. Cuma, apakah aku mau memutuskan kekecewaan itu terus mengendap berlarut-larut di di jiwaku? Apakah aku ingin hidup begini terus? Apakah aku bahagia menjalani ini semua? Apakah sejumlah kekecewaan masa lalu dan ketakutan di masa depan membuat hidupku stuck, mandeg di situ-situ saja? Padahal yang aku alami ini, juga bisa terjadi pada siapa saja, pada apa saja. Sebaik-sebaik tempat memohon adalah Allah, tanpa pernah kecewa, tanpa putus asa, hanya kepada-Nya.

Komentar

Postingan Populer