Kasab, Mahakarya Sulaman Aceh di Kampung Padang, Manggeng, Aceh Barat Daya

Sulaman kasab yang berseni tinggi dan penuh arti. (dok. pribadi)

Setiap sulamannya punya cerita, s
etiap warnanya punya makna


Kedatangan kami saat itu begitu tiba-tiba. Diburu oleh hujan, mata kami terus jelalatan membidik rumah-rumah yang menunjukkan kekhasan yang kami incar. Aha! Ini dia rumah yang kami cari. Khas sekali memang, sebab di depannya berdiri kokoh kekayuan yang telah steady layaknya bingkai pelaminan. Namun, belum berbalut oleh kain mahakarya. Adalah kasab tujuan kami berkunjung kali ini. Tepatnya di kampung yang telah dinobatkan sebagai kampung para pengrajin kasab tradisional Aceh Barat Daya, Kampung Padang di Kecamatan Manggeng.

            “Aaaa, sepertinya kali ini kaki kami tepat sekali langkahnya,” hatiku membatin.

Kayu teratak/pelaminan yang baru setengah jadi di depan rumah Bu Rosmida
di Kampung Padang, Manggeng. (dok. pribadi)

Seorang perempuan paruh baya tengah menyulam mahakaryanya di atas pamandangen*. Langsung kami terpesona dan kalimat-kalimat bernada “wah” acap terdengar dari mulut kami yang komat-kamit mulu. Jujur saja, ekspresi sang penyulam seperti terkejut melihat rombongan kami yang seperti kuda. Namun percayalah, bukan terkejut seperti anak-anak penyanyi Abdullah yang sedang viral di dunia maya.

Sesalaman diri kami lakukan dan salinglah kami berkenalan diri. Tersebutlah nama Rosmida, ialah maestro yang satu setengah jam kemudian kami berfokus padanya, pada mahakarya yang dibuatnya.

            “Saya sudah menjahit sejak SMA, dan kasab ini adalah buah dari itu semua,” tuturnya kepada saya yang saat itu sedang mencoba memperlihatkan kebodohan sulaman kasab saya.
Ya, saya manggut-manggut malu ketika mendengar ucapan beliau tentang kurangnya minat pemuda untuk meukasab. Bagaimana mungkin, karya seindah ini tak tersentuh oleh kaum muda. Memang, ia nampak turun-temurun diwariskan. Namun kenyataannya, bahkan yang berada segaris turun dengan penghasil karya kini enggan untuk menekuni kerajinan tradisional ini. Ck, miris!

Paling kanan, yang senyumnya sumringah itulah maestro kita, Bu Rosmida. (dok. pribadi)

Telah lama kasab dikenal sebagai salah satu hasil kerajinan tradisional Aceh. Sulaman benang emas (perak:versi modern) di atas kain beludru ini ada sejak dulu dan menunjukkan identitas Aceh yang sebenarnya. Bahwa Aceh adalah bangsa yang indah, bangsa yang megah, dan berbudaya. Setiap penggunaan warna dan rupa motif sulamannya punya makna filosofi yang beda dan kentara.

            “Motifnya itu banyak, dan disini kita membuatnya sesuai dengan pesanan. Paling sering orang pesan motif bunga dipadu dengan ukiran-ukiran kecil seperti ini,” jelas Bu Ros kepada kami yang saat itu berbinar-binar matanya.

Lihatlah bagaimana detailnya sulaman ini. Bunga padi menjadi motif utamanya.
Masih karya Bu Rosmida dkk. (dok. pribadi)

Keseluruhan sisi pelaminannya bermotifkan bunga padi, guys! (dok. pribadi)

Bukan tak berdasar kenapa permakaian warna dan motif sulaman kasab Aceh beragam dan kaya. Terlebih ketika motif tetumbuhan mendominasi. Ini adalah bentuk refleksi kehidupan orang Aceh yang memang memegang prinsip kemantapan muslim sejati. Bahwa tidak boleh seorang muslim membuat karya yang menyerupai makhluk hidup layaknya manusia dan binatang. Permainan warna di sini juga penting. Karena itu menunjukkan siapa dan bagaimana sosok Aceh. Kuning adalah wujud dari mereka para raja diraja, hijau adalah perlambangan ulama yang berkarisma, merah adalah hulubalang atawa para kesatria, dan hitam menjadi simbol dari rakyat jelata. Begitulah.

Kini, telah banyak juga kita temui motif-motif kasab dengan warna-warna berbeda dari tradisi. Ya, itu tidak masalah, sebab budaya itu dinamis dan bisa diikutkan dengan perkembangan masa selama tidak menghilangkan esensi kekhasan adat mulanya.
            “Disini juga ada buat kasab dengan motif khas Abdya. Ada itu, kasab yang dipesan istri bupati, motifnya bunga padi dan kacang tanah,” tambah Bu Ros menjelaskan.

Mendengar kalimat itu, semakin kagum kami. Kasab dapat menjadi refleksi diri daerah tercinta. Dan itu membuat Aceh Barat Daya semakin dikenal. Maka tak salah jika kita menyematkan kategori “mahakarya” untuk kasab Aceh ini. Terlebih membuatnya dibutuhkan waktu yang lama dan fokus kejelian yang tinggi. Sebab, rapi tidaknya hasil sebuah kasab bergantung dari prosesnya itu.

Padu warna yang cantik sekali. Kalau sudah ada hijau mahhh. (dok. pribadi)

           
“Ya, yang kemarin itu di PKA, di anjungan Aceh Barat Daya, itu semuanya sepaket dari sini buatnya. Pengerjaannya dibagi-bagi sama anggota lainnya. Jadi selesai dalam waktu lebih kurang 3 bulan,” jelas Bu Ros mengenai pengerjaan kasab tersebut.

Ya, karena itulah Kampung Padang dikenal sebagai kampungnya pengrajin kasab. Bukan satu dua yang menekuni. Namun, hampir seluruh perempuan disana memproduksi kerajinan kasab dan rerata dengan sistem kerjasama. Akhirnya, terbentuklah koperasi disana yang berdampak pada peningkatan kemakmuran warga. Luar biasa bukan?

Memang hasil tak pernah mendustai usaha. Oleh kepiawaian dan dedikasinya pada kerajinan tradisonal ini, Bu Ros cs. berhasil menebar sulaman-sulaman indahnya ke banyak penjuru. "Alhamdulillah, dari Jakarta, dari luar daerah, sering pesan kasab disini."

Saya dengan latar belakang pelaminan Aceh berkasab motif bunga padi khas Nanggroe Sigupai 
karya Bu Rosmida dkk. (dok. pribadi)

Kini, -kami yakin- usahanya semakin maju dan patut menjadi perhatian dan teladan oleh kita. Menjaga tradisi adalah penting, dan itu bisa dilakukan lewat sulaman kasab. Saya kira setaraf mengenalnya saja tidak cukup. Namun, buatlah ia tetap ada, jangan hilangkan eksistensinya. Minimal kasab ini ada di pelaminan pesta pernikahanmu dong ya, pesta khitanan abang/adik, hiasan lemari atau dindingmu, atau selalu dijadikan sebagai souvenir kedaerahanmu untuk teman-teman pengemis "peminta oleh-oleh" yang menunggu kedatangan/kepulangan mu dari Aceh Barat Daya dan Aceh. Eh, bisa juga dijadikan sarung botol minummu. Wih, tradisonal banget, sekiranya botol Tup------- pembelian makmu dibalut kasab. Hati-hati kalau hilang, semakin mahal sebab bersarungkan kasab.

Squad Agam Inong Duta Wisata Aceh Barat Daya bersama Bu Rosmida. (dok. Rikar Maulana Putra)

Kenali, tunjukkan, gunakan, pelajari, saya kira menjadi kunci penting untuk kita membuat kekhasan Aceh Barat Daya khususnya menjadi abadi dan tidak hilang. See, dengan begitu kita semakin sadar bahwa Aceh Barat Daya itu memang punya sejuta pesona.



*Pamandangen : kayu penyangga yang digunakan untuk menyangga kain beludru yang akan dijahitkan kasab di atasnya.


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer