Menampar Ego

 Sebuah cerpen, karya Alifa Rasikha Kamal

------

Ilustrasi (Google.com)

“Pemenang award kali ini jatuh kepada ....”

Itulah suara yang terdengar dari TV-ku pagi ini. Suara yang membuat telingaku gatal, panas. Kalian tahu kenapa? Tentu saja karena aku iri. Orang yang sama selalu terpancar di TV dengan kecantikan, kekayaan, dan kepopulerannya.

Aku selalu merasa mengapa Tuhan tidak adil. Kenapa Ia menciptakan kita makhluk yang sejenis tapi berbeda nasib? Namun, salahku adalah ketika aku berpikir bahwa Tuhan tidak adil, tidak pernah terpikir olehku bagaimana nasib orang di luar sana yang hidupnya tidak lebih baik dariku bahkan tak pernah mengeluh.

Ya, aku memang sering mendengar kata-kata motivasi yang bertujuan untuk membuat kita lebih bersyukur atas apa yang kamu miliki karena di luar sana masih banyak orang yang ingin memiliki apa yang kamu miliki. Tapi ya, tetap saja aku tak pernah memedulikan hal itu. Yang kupikirkan tetaplah hidupku yang tidak pernah membuat puas.

Aku selalu ingin hidup yang sama seperti mereka yang populer, cantik, kaya. Bahkan, aku tak peduli masalah apa yang mereka hadapi sebelum mencapai hal indah itu. Itulah, terkadang manusia selalu ingin sempurna tapi tak ada usaha.

Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah berusaha mengubah sifatku agar tidak iri dan lebih bersyukur. Tetap saja, sifat iri itu kembali lagi saat aku melihat mereka di media sosial manapun. Bahkan, teman-teman sekolahku tak pernah bosan membicarakan tentang betapa cantik, kaya, dan populernya mereka. 

Sampai suatu ketika, di mana semuanya terjadi saat aku mulai benar-benar menganggap bahwa Tuhan itu tidak adil adalah saat dimana orang tuaku bertengkar hebat. Aku tidak kaya, tidak cantik, tak punya banyak teman. Sekarang ayah dan ibuku bertengkar, rumit permasalahan mereka. Sial sekali hidupku.

Beberapa hari kemudian, orang tuaku kembali akur. Aku merasa sangat senang saat itu. Tapi ada sesuatu yang kulupakan, aku lupa bersyukur. Ya, selama ini aku selalu begitu, sering mengeluh, jarang bersyukur.

Suatu hari, aku sedang jalan-jalan di sekitar taman kota. Aku melihat ada seorang anak kecil. Dia duduk sendirian di samping air mancur yang ada di taman. Aku pun menghampirinya.

“Adik sedang apa di sini sendiri? Di mana orang tuamu?” tanyaku.

“Aku jualan di sini, Kak,” jawabnya dengan memperlihatkan tentengan bungkusan kacang-kacang ringan yang dibawanya.

Aku kembali bertanya di mana tempat tinggalnya. Anak itu menjelaskan bahwa ia tinggal di desa A. Ia datang ke sini dengan berjalan kaki sendirian. Dari ceritanya aku pun tahu bahwa ayahnya meninggalkan ia dan ibunya saat ia berumur satu tahun.

“Ibuku cerita sama aku, Kak,” jelasnya dengan wajah yang terlihat seperti tidak tahu apa-apa.

Ia bukan seorang yang terlahir dari keluarga yang mampu. Karena itu, ia memilih untuk berjualan ke sini demi membantu ibunya yang seorang diri. Meski ia harus menempuh jarak yang jauh, ia ikhlas menjalaninya.

“Naura sayang sama ayah dan ibu. Meskipun Naura hanya kenal dan bertemu ayah sebentar. Naura tetap sayang sama ayah. Apalagi Ibu. Ga apa jauh, Naura ikhlas bantu Ibu,” jelasnya lagi sambil agak tersenyum tersipu-sipu malu. Kulihat tentengan kacangnya, sekali-kali ia lap dengan kain yang ia bawa agar bersih dari debu.

“Biar Ibu tidak terlalu terbebani dengan Naura, Naura setidaknya bisa melakukan sesuatu untuk Ibu.”

Tanpa kusadari, air mataku berlinang dan mengalir mendengar jawaban tak terduga dari mulut seorang anak kecil seperti Naura. Benar-benar menampar egoku. Bahkan umurku jauh lebih tua darinya, tapi ia memiliki pemikiran sebijak itu. Bagaimana denganku yang jarang sekali bersyukur, suka mengeluh?

Naura, kamu adalah cermin hikmah untukku. Ku selipkan sedikit uang kepadanya sembari berpamitan dan berterima kasih atas apa yang ia ajarkan padaku.

Dalam perjalanan pulang, terus terngiang-ngiang di pikiranku tentang bagaimana Naura hidup. Sesampainya di rumah, aku segera bersujud memohon ampun kepada Tuhan atas sifat jelekku selama ini. Betapa hinanya aku ini. Sudah diberi kesehatan, kecukupan dan orang-orang tersayangku bisa menemaniku sampai saat ini, tapi apa yang aku lakukan? Aku malah tidak bersyukur dan mengatai Tuhan itu tidak adil. Air mataku kembali mengalir ketika mengingat kembali betapa banyak dosa dan kesalahan yang kuperbuat. Betapa banyak nikmat Tuhan yang kuabaikan.

Semenjak saat itu, aku menekadkan diri untuk tak lagi mengeluh atas apa yang Tuhan berikan kepadaku dan keluargaku. Aku berusaha untuk selalu mensyukuri apa pun nikmat yang Tuhan beri untukku. Mau itu senang atau sulit, aku selalu yakin bahwa Tuhan pasti menyiapkan kejutan yang terbaik untukku.

Selalulah berkaca dan bertanya, sudahkah kita bersyukur hari ini?**

**Alifa Rasikha Kamal, saat ini duduk di kelas VII Bina Prestasi MTsN 1 Aceh Barat Daya




Komentar

Postingan Populer