Pemutus Segala Kenikmatan
Sumber: Google/islam.nu.or.id |
Hikmah
Harian dari Saya yang Juga Akan Mati
Malam
Jumat ini tepatnya, 23 September 2021, saya
menelusuri percakapan-percakapan yang saya lewatkan dari grup WhatsApp Keluarga
Jakfar selama tidak menjadi anggota grup. Baru sehari lalu saya dimasukkan
kembali ke dalam grup Jakfar oleh Abu
(ayah saya) atas kebarusadaran saya, “Ternyata sudah lama saya keluar dan tak
bergabung di grup keluarga.”
“Kenapa
bisa kamu ga ada di grup?”
“Ah,
kayaknya Riffa keluar pas sempat ganti hp waktu ke Takengon dulu Abu.”
Jadi
begitulah. Untuk ke sekian lamanya saya missed dari info-info keluarga
Jakfar. Hingga malam ini, saya akses kembali semua yang tertinggal. Semua akses
itu saya lakukan lewat handphone ibu. Kenapa tak dari handphone
sendiri? Ah, handphone saya sedang tidak aktif karena kehabisan daya dan
sedang di-charge. Ini bukan bagian penting yang ingin saya sampaikan
sebenarnya. Basa-basi penambah kata.
Scroll, baca, scroll,
baca. Terus saya lakukan hingga akhirnya gerakan tangan saya terhenti pada dua foto
yang dibagikan di dalam grup Jakfar. Foto pemberhentian pertama saya adalah
foto di mana Makwo Mawar (kakak sepupu Abu saya) telah terbungkus kaku oleh
kain kafan putih. Ya, innalillahi wainnailaihi raji’un. Beliau baru saja
meninggal Senin, 20 September yang lalu. Oleh sakit yang sudah diderita beliau
sejak beberapa hari mungkin, lalu beliau Allah panggil.
Di
foto itu almarhumah tampak mungil sekali. Beliau aslinya memang mungil, kecil-kecil
orangnya, gesit ramah cekatan. Saya tak punya ingatan kapan terakhir berjumpa
beliau semasa hidup. Yang ada adalah ketika lebaran Idul Adha kemarin, saya dan
keluarga (termasuk sepupu dari Banda Aceh) malam itu datang ke rumah beliau
untuk berlebaran. Tapi beliau dan lainnya tidak ada di rumah padahal pintunya terbuka.
Ya, kami tak mungkin juga berkoar terus-terusan setelah mengucapkan tiga kali
salam berturut-turut di rumah Makwo. Terlebih waktu itu malam.
Alhasil,
kami melanjutkan lebaran ke rumah saudara yang lain. Sungguh, setelah itu pun saya
tak ada momen berjumpa dengan beliau. Namun, besar doa saya dan keluarga untuk almarhum
Makwo Mawar agar beliau kembali dengan khusnul khatimah kepada Allah. Keluarga
yang ia tinggalkan sabar dalam ketaatan yang penuh, dengan tak henti mengirim
doa untuknya dan kami dapat mengambil pelajaran dan terus mengingat bahwa
kematian itu sangat dekat. Laa haula walaa quwata illa billah.
Foto
kedua. Hmm, sebenarnya saya tak perlu foto ini untuk mengingat beliau. Karena
saya masih begitu ingat dengan sosoknya hingga saat ini, Abua Dar. Di foto itu,
Abua terbaring lemah dengan bantuan alat pernapasan. Abu yang mengirimkan foto
itu ke grup dengan harapan doa dari seluruh keluarga dan saudara untuk kesembuhan
Abua. Saya saat itu berada di Banda. Baru saja sehari tiba di Banda pergi mengantar
Mousa bersama kakak saya.
“Ya
Allah, Abua masuk rumah sakit! Sakit apa ya?”
Pertanyaan
itu segera dilontarkan Kak Yen ke dalam grup Keluarga Jakfar. Terkonfirmasilah
bahwa Abua tiba-tiba tak sadarkan diri hingga akhirnya mendapatkan perawatan di
rs terdekat. Dari ibu, saya yang saat itu
di Banda Aceh mendapat kabar mengenai perkembangan Abua selama di rs.
Hari
berjalan sehari, banyak hal yang terjadi. Hingga sebelum Subuh besoknya, saya
yang saat itu baru saja menyelesaikan qiraah quran, menunggu waktu Subuh, tiba-tiba
mendapatkan telepon dari Opi, sepupuku yang bertugas sebagai dokter di rs Abua
dirawat. Salam Opi ucapkan, lalu:
“Pa,
Abua Is pat?”
(Pa,
Abua Is di mana?)
“Meuah
Pi, Lon di Banda jinoe ngon Kak Yen. Abu ngon Mak tok di rumoh.”
(Maaf
Pi, saya sedang di Banda sekarang dengan Kak Yen. Abu dan Mamak cuma di rumah.)
Terdengar
raungan orang-orang menangis di balik teleponnya Opi. Perasaanku berkata ini
pasti perihal Abua, tidak menyenangkan pastinya. Spontan saya bertanya.
“Pakoen
Pi? Abua Dar meninggal ya Pi?”
(Kenapa
Pi? Abua Dar meninggal ya Pi?)
“Nyoe
Pa. Kiban nyan haba bak Abua Is?”
(Iya
Pa. Bagaimana itu kabar sama Abua Is?)
“Innalillahi
wainnailaihi raji’un. Ya Pi, hana peu, bah lon telpon Abu jinoe.”
(Innalillahi
wainnailaihi raji’un. Ya Pi, tidak apa-apa, biar saya yang telepon Abu
sekarang.)
Segera
saya memberi sahutan kecil pada Kak Yen yang saat itu juga sedang beralaskan sajadah.
“Kak,
Abua Dar meninggal dunia.”
Sabtu,
11 September 2021 Abua Darma Muslim telah meninggal dunia. Innalillahi wainnailaihi raji’un. Sontak
kabar duka ini meluas di antara keluarga dan saudara kami khususnya. Tak perlu
lama dan singkat cerita, segala hal yang meliputi kepulangan Abua kepada Allah
tersampaikan kabarnya.
Abua
Dar, begitu sehari-hari saya menyapanya. Beliau rutin mengimami kami berjamaah
di musala, di hampir semua waktu salat. Selama beliau sehat dan ada di kampung,
sandal Abua akan selalu tampak di bawah tangga musala.
Abua
seringkali menangis dalam bacaan salatnya. Saya ingat betul bagian-bagian surat
yang Abua pasti akan sering menangis kalau membacanya. Ketika ia bacakan surah Luqman
di mana ayat-ayat yang dilafalkannya itu berkenaan tentang pesan Luqman pada
anaknya untuk tidak menyekutukan Allah, taqwa pada Allah, bakti dan sayang pada
orang tua. Ataupun di tiga surat terakhir Al-Baqarah, pada surah Al Waqi’ah
tentang dahsyatnya hari kiamat nanti, dan surah-surah lainnya yang entah kenapa
ia akan sangat sering menangis ketika membacanya. Kata Abu, hampir di setiap
hari-hari terakhirnya, beliau diam tak bicara dan menangis dalam salat, dan ada
beberapa kali ia lupa bacaan surat yang dibacanya. Wallahu’alam. Perkara
ini sungguh Allah-lah yang paling Maha Tahu, manusia hanya bisa menilai yang
tampak sebagai tanda tanpa mengetahui yang rahasia. Lalu tak sangka, seorang
anak manusia yang kami kenal telah Allah panggil kembali.
Seperti
ada penyesalan di hati saya. Bahwa beberapa hari sebelum beliau meninggal, tak
ada momen saya berbicara dengan beliau secara langsung. Bahkan di hari terakhir beliau di dunia, tak sempat saya melihatnya.
Perjumpaan
ada, tapi tak sampai berbicara. Yang ada terakhir kali saat itu, saya membawa Mousa,
keponakan paling kecil saya ke musala untuk Magrib berjamaah. Di situlah saya
melihat Abua Dar tersenyum kecil dan menyapa Mousa yang saat itu mondar-mandir
lari-lari di depan jamaah laki-laki. Salat sudah selesai dan saya hendak
pulang. Namun, Mousa tak mau angkat kaki dari musala sebab di sana banyak kipas
anginnya. Ya, Mousa sangat menaruh perhatian pada kipas angin jenis apapun itu.
Abua mungkin terlucukan oleh tingkah Mousa hingga mereka saling menyapa kecil.
Sedikit
memori dari Abua sebelum pergi. Lagi dan lagi, saya dan kita diajarkan oleh
Allah, diingatkan oleh Allah akan kematian.
Saya
secara pribadi menulis ini bukan karena keduanya adalah orang tua saya, Abua
dan Makwo saya. Bukan. Tapi sebeginilah kabar duka bisa menyelimuti manusia
dengan cepat, tanpa batas. Tak bisa kita duga, saat itu seseorang sedang
bersama kita, boleh jadi itu waktu terakhirnya. Paling penting, seringlah membalik
keadaan ini. Saat ini kita bersama mereka, boleh jadi ini adalah waktu terakhir
kita. Wallahu’alam.
Kematian
adalah pemutus kenikmatan terbesar dalam hidup ini. Bekal terbaik adalah takwa
dan taubatan. Perkara yang sangat-sangat bisa menyelamatkan dan terus-menerus
mengalir pahala dan bantuannya hingga hari akhir nanti adalah sedekah jariyah, sebaik-baik
doa dari anak yang saleh dan salehah, serta ilmu yang bermanfaat bagi
kemaslahatan umat.
Bahkan seorang nabi, seorang raja, seorang pemimpin, seorang alim ulama, seorang ayah, seorang ibu, seorang saudara, seseorang yang tak dikenal, siapapun itu, mati akan menghampirinya. Kepada Allahlah saya berserah diri, sebaik-baik pelindung dan pengampun adalah Allah, yang baik menjadi hikmah untuk kita semua, yang salah saya mohonkan ampun kepada-Nya. Astaghfirullah hal'adzim, laa haula walaa quwata illa billah.
Komentar
Posting Komentar