DILEMANDI

Ilustrasi: Google, Femina

*sebuah cerpen

Matahari secara perlahan mulai menunjukkan warna kemerah-merahannya. Tujuannya untuk berpulang ke selimut bumi, terbenam di sudut ini, terbit di sudut sana. Langit mulai remang-remang, menggelap. Gerombolan ayam di rumahku mulai mengarah ke kandang lusuhnya. Sudah seharian penuh mereka mengais makanan di setiap sudut lahan yang ada. Aku? Tentu saja masih sibuk dengan kegiatanku. Hobiku untuk saat ini mengorek-ngorek tanah demi bunga-bunga yang kurawat seperti anak sendiri, bukan Malika namanya. Aku yakin betul, waktu sudah menunjukkan akan Magrib. “Pasti sudah jam setengah tujuh,” pikirku. Tapi aku tetap enggan untuk segera masuk ke rumah dan mandi mengguyur badan. 

“Hus, ka dibang. Tamong! Terdengar suara perempuan yang hampir genap 26 tahun aku mendengarnya setiap saat, umi-ku. “Iyaaa,” jawabku seadanya yang kelihatan sekali belum mau beranjak dari pekerjaan mengais-ngais tanah. Di sela-sela sempit itu, aku terus fokus untuk menggemburkan tanah-tanah bunga. Tanggung pikirku kalau aku menghentikan pekerjaan ini. Kalau aku bisa menyelesaikannya sore ini, besok aku tak perlu berurusan lagi dengan tanah-tanah bunga. Awalnya, aku selalu berpikir begitu. Eh, ujung-ujungnya, besok pun, walau pekerjaan mengorek-ngorek bunga telah selesai, aku tetap kembali sibuk dengan bunga-bunga itu. Kenapa ya? Sudah hobi kali. 

***

Lantunan umi-ku membaca alquran sayup-sayup terdengar dari kamarnya. Sedangkan suara parau abi-ku terdengar dari ruang makan. Biasa, sepulang dari salat berjamaah, orangtuaku suka berpisah. Eits, bukan berpisah rumah tangga ya. Berpisah posisi mengaji maksudnya. Abi, kalau sudah pulang dari salat berjamaah, langsung mengambil mushaf dan mengaji di meja makan kesayangannya. Memang, meja makan itu puosisi wuenak-nya abi untuk banyak kegiatannya. Makan minum, qiraah quran, baca koran, streaming youtube, asah pisau, tidur siang atau sekedar memperbaiki alat-alat elektroniknya. Kalau umi-ku, beliau sering qiraah quran di kamar. Setelahnya, ia kembali menjalankan rutinitas mengurus suami tersayang, tercinta, terunyu, ter- ter-nya itu sebagai tugas utamanya. Kalau kami? Tidak perlu diurus lagi, berhubung anak-anak abi dan umi sudah berusaha untuk mandiri.

Badanku masih agak basah. Handuk menggulung rambutku yang basah karena baru kusampo. Kutengok jam di dinding, sudah 19.17 WIB. Duh, keburu habis waktu Magrib. Atau jangan-jangan memang sudah habis? Buru-buru kuambil mukena dan baju seadanya. Rambut masih basah, langsung kubalut dengan mukena. Menyegerakan niat yang tiga, aku pun salat. Begitulah, kesannya sering terburu-buru di kala Magrib. Omelan dan peringatan abi sering melayang untukku. Kalau sudah begini, aku tertunduk diam saja, mencoba untuk tidak mengulangi. Ya, mencoba untuk tidak telat lagi, meski niat cuma seujung jari. 
*** 
Peluh sedikit mengalir dari pelipis mataku. Bagaimana tidak? Aku baru saja mengambil kelapa muda dari pohonnya. Bukan main tinggi pohonnya. Yang sudah pasti tak mungkin bisa kupanjati. Dengan galah besar dan panjang alhasil kudapatkan kelapa muda itu. Butuh usaha ekstra memang sebab galahnya berat. Setelah mendapatkan apa yang kuinginkan, aku pun menikmatikan segarnya kelapa muda sembari duduk-duduk lepas lelah di bawah pohon mangga di samping rumahku. Tadinya, aku kembali melakukan hobiku yaitu mengurus bunga-bunga. Kali ini, pekerjaanku agak banyak. Karena, yaaah secara di rumahku banyak ayam berkeliaran dan mereka paling doyan mengais-ngais cacing dari pot bungaku sehingga tanah-tanah berhamburan. Kotor di sana-sini dan itu membuatku benar-benar geram dan emosi. 

“Ya Allah, kenapa ga ada siapa yang lihat bunga Kakak di depan? Habis rusak gara-gara ayam,” teriakku memperlihatkan kekesalanku pada orang-orang di dapur, umi dan adikku. 
“Itulah, Abi ga bolehkan kurung tu ayam. Kalau ga kita naikkan ke atas, pasti bakal dirusak ayam,” sahut umi-ku sambil mengaduk-aduk entah apa itu di dalam wajan yang sedang dipanaskan di atas kompor. 
“Ga gede-gede bunga Hus. Asik aja dirusak ayam!” 

Aku benar-benar geram dengan kondisi saat itu. Kondisi itu tidak terjadi sekali dua kali, tapi berkali-kali. Sudah kemana dan bagaimana pun kujaga bungaku, ayam abi selalu mencari-cari masalah. Abi tidak pernah mengurung ayam-ayamnya di balik jejaring kandang. Selalu ia lepas liarkan. “Biar tidak stres ayam, pas kita makan pun sehat,” begitu kata abi bikin aku ternganga. Memang, kata orang, di luar negeri ayam atau telur kandangan lebih murah harganya ketimbang ayam yang peliharaannya dilepaskandangkan. Itu berpengaruh ke kualitas daging dan telur ayamnya. Jadi abi ceritanya menerapkan ilmu itu. Tapi ya, bikin aku dongkol dong! Karena aku harus merapikan kembali bunga-bungaku setiap kali dirusak oleh ayam-ayam abi. Bunga dipagarin? Jangan tanya, ayam-ayam abi tampaknya keturunan wiro sableng semua, bisa bela diri dan lompat tinggi. Kalau sudah begini, aku pasti akan fokus sekali dalam mengurus kembali bunga-bunga yang telas dirusak ayam-ayam abi. 

Drrtt, drrtt, drttt. 
Kuperhatikan notifikasi android keluaran Cina-ku. Ahh, dia ternyata. Feeling-ku tidak enak. Biasanya kalau sudah waktu sore, pasti dia bertanya pertanyaan itu. Pasti seputaran “itu.” Kulihat kilasan notifikasi pesan darinya, ada 3 pesan. 
Pesan pertama, dimana? 
Pesan kedua, lagi ngapain? 
Pesan ketiga, ini yang tidak enak dengan emot nyengirnya, sudah mandi? 
Lagi dan lagi, sengaja tidak ku-read. “Ah, biar saja di situ dulu. Daripada aku bohong untuk pertanyaan ketiga,” pikirku. 
Ya, secara aku sama sekali tidak ingin berbohong padanya, meskipun untuk pertanyaan kecil dan sepele seperti itu. Cuma ya begitulah, kalau sudah urusan mandi, dia paling tahu kelemahanku. Pesan itu akan kubalas jika aku sudah mandi nanti. Malu juga sih keseringan mengaku belum mandi tiap ditanyai pertanyaan itu olehnya. 

Pernah suatu ketika, dia mengungkapkan ketidakpercayaannya terhadapku yang seorang duta “sampo lain.” 
“Hah? Ternyata ya, di balik seorang Husnah, ternyata kamu malas mandi?” tanyanya lewat pesan whatsapp. 
Dia tidak menyangka ketika tahu kebiasaanku yang jarang mandi. Sebenarnya bukan jarang mandi sih ya. Seringnya telat, ujung-ujungnya demi alasan kesehatan, jangan mandi malam, sering ku-qada-kan mandiku keesokan paginya. 
“Hei, aku tu bukan ga mandi ya. Aku mandi, cuma sering telat,” belaku lagi. 
“Ih, kamu cewek loo!” balasnya lagi. 
“Hah, apa urusannya gender sama mandi? Eh, bagus lo kayak aku. Aku mendukung penghematan air dunia. Aku ini pro lingkungan!” jelasku lagi tidak mau kalah. 
“Ga ada, ga ada. Apa hemat air? Cewek itu harus mandi. Mesti bersih dan wangi,” jawabnya kesal sebab ada emot kuning yang dari hidung keluar asap digunakannya. 
“Duh, jangan harap saya mandi cepat ya kalau sore. Kamu kan udah tahu itu,” jawabku lagi.
“Loo, jadi kalau nanti aku mau jjs sama kamu, kamu harus sudah mandi dan steady dong. Aku jemput kamu,” katanya lagi dengan emot ketawa nyengir. 
“Oh, ga bisa. Planning gitu kasih tau awal-awal, minimal sehari sebelum jjs,” kataku. 
“Ih, cuma jjs loo. Kan nanti, istri harus sudah siap kalau aku jemput pulang kerja,” kekehnya lagi. 
“Ga, aku ga bisa mendadak gitu. Aku tu harus memikirkan nasib 7,7 milyar manusia di dunia terlebih dahulu sebelum mandi,” jawabku mengada-ngada sudah, saking tidak mau kalah dengannya. 
“Duhh, kamu ya. Terus apa, ambil handuk terus keliling rumah dulu, baru sejam kemudian mandi? Duhh, calonku ini!” jawabnya dengan arti dia tampaknya mulai mengalah dengan jawaban-jawabanku. 
“Hahaha, nanti aku mandi ya!” jawabku puas karena ujung-ujungnya dia mengalah. Pun dia memang baik. Ah tidak, agak sedikit baik. Dia mau mengerti calonnya yang punya seribu alasan untuk telat mandi, seringnya berujung tidak mandi. 
*** 

Hingga suatu sore, aku masih dalam kondisi yang sama, belum mandi. Padahal kumandang Magrib sudah berbunyi. Aku masih dengan santai-santainya membereskan taman bungaku. Lalu tiba-tiba, si bungsu, adikku Safna, memanggilku. 
“Kak, Pak Em Humas telpon ni!” seru adikku memberitahu. 
“Hah, serius? Sini-sini!” buru-buru kuambil handphone-ku dari tangan adikku.
“Assalamualaikum, Pak. Maaf Pak, yang tadi ga angkat, Husnah lagi di depan,” jawabku memberi penjelasan dengan nada khawatir. Kok tiba-tiba Pak Em telepon aku? 
“Oh ya Hus, waalaikumsalam. Gini Hus, lagi sibuk ga ni? tanya beliau lagi. 

Percakapan via handphone tersebut terus berlanjut sampai akhirnya begini. Aku diminta jadi MC di acara pelantikan pengurus Mitra Jaya Kodim 0333 Abdia. Hah, kukaget bukan kepalang. Bukan karena aku tidak siap, tapi lebih kepada bisa tidak ya aku sampai tepat waktu di lokasi acara, sedang saya lagi dekil-dekilnya, belum mandi. Geladi acara dimulai pukul setengah 8 malam. Semua harus dipersiapkan, tapi aku sedang dalam keadaan ga banget begini. Sialnya, aku mengiyakan tawaran Pak Em. Duh, auto gelagatku langsung terbirit-birit. Mandi belum, salat belum, makan belum. Bagaimana ini? Mungkinkah aku selesai dan tiba tepat waktu di lokasi acara? 

Singkat cerita, aku sudah siap dengan setelan nge-MC. Ya, kupadukan rok batik motif bunga kacang dengan atasan kurung melayu coksu-ku. Dengan sedikit make up sederhana bermodalkan bedak bayi, akupun menganggap diriku sudah steady. Lipstik agak keoranyean muda kuoles sedikit saja di bibir. Wow! Seperti Luna Maya dari kejauhan 1 kilo. Makan? Tentu saja aku makan, tapi tok nasi putih yang kubulat-bulatkan. Makan malam seadanya kuanggap selesai. Aku sudah dikejar waktu. Jadi pikirku tak mungkin kuberlalai lagi dengan menikmati makan malam lengkap lauk kan? 

Akhirnya, aku pun berangkat ke lokasi acara. Telat? Syukurnya tidak. Aku cukup gesit kalau urusan bawa motor bebek. Semua teratasi dengan baik. Aku pun segera mengikuti geladi bersama anggota acara lain hingga acara sebenarnya terlaksana. Aku bersyukur, di balik keburu-buruanku, satu tugas ini bisa aku selesaikan dengan baik. Tidak ada kesalahan ucapan, gerak ataupun sikap yang kulakukan. Hanya saja, aku sedikit tidak nyaman saat itu karena aku ..... 

Belum mandi. Ya, aku nge-MC dalam keadaan belum mandi. Modal lap-lap doang. Ini sebuah aib terlucu dan memalukan yang harus aku ingat. Aku selalu khawatir saat itu dengan nyamuk-nyamuk yang mungkin akan menggerayangiku saat nge-MC. Pewangi pakaian merek rapiku kusemprotkan entah sebanyak apa ke tubuh demi menyamarkan aroma badanku yang belum mandi. Demi menghindari nyamuk-nyamuk juga, hahaha. Setelah acara selesai, aku pulang ke rumah dan segera mengguyurkan berliter-liter air ke tubuhku. Lagi-lagi, aku mandi malam. Umi yang tahu saat itu langsung mengeluarkan omelan pedasnya.

“Itulah kamu. Coba kamu mandi sore tadi. Kan ga perlu mandi malam.” katanya mengomeliku. 
“Duhh, kalau Hus mandi cepat, sama aja Umi, berkeringat lagi. Ntar juga harus mandi lagi.” belaku. 
“Kan setidaknya kamu MC tadi dalam keadaan sudah mandi. Nih liat, baru kamu mandi pas udah malam gini.” sahut umi seperti menyesali punya putri seperti aku. Beliau pasti malu. “Hehe, udahlah tuuu Mi!” jawabku singkat segera masuk ke kamar untuk melaksanakan Isya yang belum terlaksana. 

Setelah salat, aku duduk meluruskan kaki di atas tikar sajadah sembari mengingat-ingat kejadian tadi. Aku pun tersenyum memikirkan kebodohan diriku. “Duh, ga pernah-pernah orang nge-MC di acara penting gini ga mandi, Hus.” pikirku tak habis pikir. Cukuplah ini jadi pengalaman terakhirku. Jangan sampai terulang lagi ke depan. Tekadku berkata demikian, tapi apakah terealisasikan? Kita lihat saja nanti. Aku merebahkan diri, tidur untuk sementara waktu melepas penat dan kesudahan kegiatan hari ini. Lalu, kubuka kembali pesan whatsapp favoritku, hendak menceritakan apa yang terjadi padaku sore tadi kepada dia yang sudah menunggu. 


*Hus, ka dibang. Tamong! (Aceh) : Hus, sudah azan. Masuk! (Indonesia)

Komentar

Postingan Populer